Antara Sahabat
Embun pagi mengalir di atas
dedaunan halaman sekolah menengah pertama. Pagi itu adalah hari pertama masuk
sekolah setelah kenaikan kelas. Murid baru kelas 7 pun sedang menghadapi masa orientasi
siswa di hari pertamanya. Sedangkan aku, memulai hari baru di kelas 8 dengan
kelas dan teman yang berbeda. Hari itu, aku mencari ruang kelas ku, yang
ternyata berada di kelas 8A. Setelah mencari-cari kelas, aku dihadapi dengan
kenyataan yang rumit untuk dijelaskan. Aku harus berada di kelas yang menurutku
tidak nyaman, dengan kelas bersuhu panas dan keadaan teman yang tak bersahabat.
Betapa kesalnya aku yang harus berada dalam kelas ini, aku selalu bertanya
kenapa? kenapa?. Namun aku sadar, dan teringat sebuah pesan bahwa jangan pernah
menyesali yang telah ada, jalani saja dengan ikhlas maka hasilnya akan
mengikutimu dengan baik. Aku terus berusaha menahan egoku dan berusaha menerima
keadaan.
Aku berdiri di depan pintu kelas
yang bertuliskan Kelas 8A. Sambil menghela napas, aku mulai beranjak masuk ke dalam
ruangan itu. Tiba-tiba,
“Citra…! Akhirnya kamu datang
juga, yes kita sekelas lagi, ayo duduk sama aku aja.” ucap Ranti kepada ku,
sambil menyeret tanganku untuk masuk dan duduk bersamanya.
“Ranti, kamu disini juga?
Baguslah, aku jadi ada temannya.” Ujarku kepada Ranti.
Ranti adalah teman sekelas ku
sejak kelas 7. Aku memang tidak terlalu dekat dengannya dulu. Aku merasa
beruntung dia sekelas dengan ku lagi, jadi aku tidak perlu susah payah untuk mencari
dan beradaptasi dengan teman baru di kelas ini. Ranti adalah anak kesayangan
guru, bisa dibilang seperti itu karena kedekatannya dengan guru-guru. Sementara
aku adalah anak yang cuek dan pendiam semenjak kelas 7.
Hari demi hari pun telah aku
lewati bersama Ranti. Bisa dibilang hari-hari itu adalah proses dimana aku
berubah. Ya, aku mulai berubah semenjak bersahabat dengan Ranti. Aku lebih
humoris dan jail dari biasanya, sangat kontras memang jika melihat sikap ku di
kelas 7 dulu yang sangat pendiam. Tapi, sejak aku jail itu aku mulai susah
mengontrol diriku untuk tidak berbuat jail. Sampai pada suatu ketika, aku
melancarkan aksiku untuk mengerjai Ranti,
“Huaaaa…!! Citraa, udah.. geli
tau, udah!” Teriak Ranti karena aku gelitiki tubuhnya.
“Hahahahha..” tawa jahatku sambil
terus menggelitiki Ranti.
“huaaaa.. stop dong cit, geli
tau!” bentaknya sambil beranjak dariku, dia terlihat kesal dan hampir menangis
karena kesal aku gelitiki.
“Ranti, tunggu!” aku pun
menghalaunya agar dia tidak pergi.
“Maaf, aku gak bermaksud
membuatmu sampai kesal.” Penjelasanku kepada Ranti sambil merayunya agar tidak
marah kepadaku.
“Kamu tuh bercandanya kelewatan
tau gak sih! Kamu kan tau aku geli, tapi jangan kelewatan, aku kan cape.”
Keluhnya kepadaku dengan nada kesal.
“Iya, aku tau, aku minta maaf ya,
aku janji deh gak gitu lagi.” Ucapku sambil memelas untuk mencairkan suasana.
“Iya, yasudah.” Kata Ranti.
Semenjak itu aku sangat merasa
bersalah akan kejailanku yang sudah kelewatan. Aku harus menahan hawa nafsuku
untuk menjaili orang lain. Makanya aku lebih memilih berdiam diri dan masa bodo
dengan keadaan. Aku lebih memilih tidak berkutik dengan candaan agar aku tidak
terpancing untuk membuat suatu kejailan lagi. Namun, dengan sikap ku ini, aku
mengahadapi masalah kembali. Sepertinya aku menyelesaikan masalah dengan
masalah. Waktu itu, aku menjadi seseorang yang cuek dan suka diam, namun dengan
adanya sikapku itu, bencana pun datang.
“Citra, kamu kenapa sih diem
terus dari tadi?” Tanya Ranti kepadaku yang sedang duduk sambil berpangku
tangan dengan memasang muka cemberut.
“engga, gak kenapa-kenapa kok.”
Jawabku sambil memalingkan pandangan kearah lain.
“Kamu marah ya sama aku? Kamu
jangan diem terus dong, maaf ya..” ujar Ranti sambil memegang tanganku dengan
melas.
“Aku gak marah kok sama kamu,
kamu gak salah apa-apa. udah ah, kamu ngapain sih minta maaf sama aku.” Ucapku
kepada Ranti sambil menekankan nada suaraku.
“tuh kan kamu marah ya sama aku,
maaf ya cit, maafin aku..” ucapnya sambil menatap nanar kepadaku dan berusaha terus
meminta maaf kepadaku.
Aku merasa ganjil terhadap Ranti
meminta maaf kepadaku, sementara aku merasa tidak punya masalah apa-apa
dengannya. Aku kesal karena ia terus meminta maaf kepadaku sementara aku
benar-benar tidak marah dengannya. Namun, Ranti terlihat merasa mempunyai
kesalahan besar denganku hingga ia terus meminta maaf kepadaku.
“Aku tuh gak marah sama kamu,
yaudah sih gak apa-apa.” sahut aku dengan nada kesal.
“Yaudah kalau kamu gak marah sama
aku, kamu maafin aku, apa susahnya sih bilang kalau kamu maafin aku.” Ujar
Ranti sambil menahan air matanya.
“Yaudah, kamu gak usah minta
maaf, kamu tuh gak salah apa-apa, kamu jangan merasa bersalah sama aku deh, aku
gak apa-apa kok.” Ujarku kepada Ranti, sambil menghela napas karena menahan
emosi.
“Kalau gak kenapa-kenapa yaudah,
kamu maafin aku, aku cuma mau kamu maafin aku, biar aku tau kamu gak marah sama
aku, apa susahnya sih cit..” ucapnya sambil menangis kepadaku.
“Kamu ngapain sih nangis, kamu
tuh terlalu merasa bersalah benget deh sama aku. Aku tuh gak kenapa-kenapa sama
kamu. Yaudah aku maafin kamu, udah jangan nangis lagi.” Ucapku menjelaskan
sambil berusaha menenangkannya agar tidak menangis lagi.
Aku selalu merasa bersalah jika
harus mengingat kejadian itu yang terus berulang. Aku tidak nyaman karena Ranti
terlalu merasa bersalah denganku karena aku selalu diam dan cuek. Semenjak itu,
aku berusaha menjelaskan padanya agar tidak terlalu merasa bersalah kepadaku
dan menganggap aku marah padanya. Dengan ia memelas meminta maaf padaku sampai
ia harus menangis karena aku, hal itu selalu menghatui batinku dan mengecap
diriku sendiri sebagai orang jahat yang selalu membuat Ranti menangis. Aku
selalu berfikir, apa aku harus menjauh darinya agar dia tidak aku sakiti terus.
Jujur saja, aku tidak ingin ia menangis lagi karena keegoisanku. Aku selalu
berusaha menetralkan keadaan, aku mulai berusaha menjauh darinya agar ia tidak
terluka lagi dengan masalah yang telah ada.
- ◊ -
Semester ke dua telah dimulai,
murid baru pun berdatangan. Tepatnya di kelasku ini, ada seorang murid
perempuan baru. Aku dan yang lainnya menyambutnya dengan ramah. Aku berkenalan
dengannya, begitu pula Ranti. Anak baru itu bernama Julia, dia adalah anak pindahan
dari sekolah negeri yang cukup bagus, dia juga termasuk anak yang cerdas. Sejak
awal kedatangannya, Julia sudah bisa merebut perhatian Ranti dari ku. Bisa
dibilang aku cemburu karena Ranti sekarang begitu dekat dengan Julia. Hingga
pada suatu kejadian yang membuat persahabatanku dengan Ranti mulai goyah.
Waktu itu Ranti sedang bersama
Julia, dengan tanpa sadar Ranti meninggalkanku sendirian. Mereka terlihat akrab
sekali sambil ngobrol dan melepaskan tawa yang bagiku adalah kebahagiaan di
atas kesedihan seseorang. Aku kesal, aku merasa sahabatku direbut orang lain. Aku tau itu haknya untuk berteman dengan siapa
saja, makanya aku tidak mau merusak suasana. Aku lebih memilih membiarkannya
dan pergi meninggalkan mereka berdua. Sampai pada akhirnya konflik terjadi.
“Ciee.. punya sahabat baru,
sahabat lama dilupain.” Ledekku sambil menyindir Ranti.
“Sahabat baru siapa? Aku gak
ngelupain kamu kok cit.” ujar Ranti.
“Kayaknya kemaren asik banget
ngobrol berduaan sama Julia, sampe aku diabaikan.” Ucapku.
“Julia..? aku Cuma ngobrol doang
kok, aku gak bermaksud ninggalin kamu kemaren. Habisnya, kamu diem aja kemaren,
ya aku ke Julia aja buat diajak ngobrol.” Penjelasan dari Ranti.
“Oh.. yasudah, berarti aku udah
gak asik lagi kali ya buat diajak ngobrol?,,” ucapku.
“Bukan begitu, aku cuma pengen
ngobrol sama Julia aja, daripada aku diem-dieman sama kamu, mending aku ngobrol
sama Julia.” Kata Ranti.
“oh, gitu, yaudah, tapi kamu
jangan ninggalin aku sendirian gitu dong, aku kan cemburu kamu deket sama
Julia.” Ucapku
“hahaha, ciee.. kamu cemburu aku
sama Julia? Hahaha dasar kamu cit” ledek Ranti kepadaku.
“yaudah sih, kan wajar aja, aku
kan sahabat kamu dari dulu, makanya kamu jangan suka ninggalin aku lagi, kalau
ada masalah sebisanya kita selesaikan berdua, jangan saling egois lagi kayak
dulu.” Kataku.
“Iya citraa, aku gak bakalan
ninggalin kamu lagi kok, makanya kita saling nahan ego masing-masing biar gak
berantem terus, oke.” Ucapnya sambil tersenyum lebar kepadaku.
Dan pada akhirnya konflik itu
diselesaikan dengan adegan saling berpelikan antara aku dan Ranti.
Pada saat itulah aku dan Ranti
bersahabat dengan sikap dewasa yang saling mengerti dan saling menahan ego
masing-masing. Dan jika ada masalah, pasti akan kita selesaikan dengan
baik-baik. Karena kunci dari persahabatan itu adalah saling mengerti. Itulah
pelajaran yang bisa ku petik dari kisah persahabatanku dengan Ranti dari awal
sampai seterusnya, karena sahabat tidak mementingkan dirinya sendiri melainkan
mementingkan arti penting pada sebuah persahabatan itu sendiri.
-The End