Sabtu, 03 Mei 2014

Cerpen "Antara Sahabat"



Antara Sahabat



Embun pagi mengalir di atas dedaunan halaman sekolah menengah pertama. Pagi itu adalah hari pertama masuk sekolah setelah kenaikan kelas. Murid baru kelas 7 pun sedang menghadapi masa orientasi siswa di hari pertamanya. Sedangkan aku, memulai hari baru di kelas 8 dengan kelas dan teman yang berbeda. Hari itu, aku mencari ruang kelas ku, yang ternyata berada di kelas 8A. Setelah mencari-cari kelas, aku dihadapi dengan kenyataan yang rumit untuk dijelaskan. Aku harus berada di kelas yang menurutku tidak nyaman, dengan kelas bersuhu panas dan keadaan teman yang tak bersahabat. Betapa kesalnya aku yang harus berada dalam kelas ini, aku selalu bertanya kenapa? kenapa?. Namun aku sadar, dan teringat sebuah pesan bahwa jangan pernah menyesali yang telah ada, jalani saja dengan ikhlas maka hasilnya akan mengikutimu dengan baik. Aku terus berusaha menahan egoku dan berusaha menerima keadaan.

Aku berdiri di depan pintu kelas yang bertuliskan Kelas 8A. Sambil menghela napas, aku mulai beranjak masuk ke dalam ruangan itu. Tiba-tiba,

“Citra…! Akhirnya kamu datang juga, yes kita sekelas lagi, ayo duduk sama aku aja.” ucap Ranti kepada ku, sambil menyeret tanganku untuk masuk dan duduk bersamanya.

“Ranti, kamu disini juga? Baguslah, aku jadi ada temannya.” Ujarku kepada Ranti.

Ranti adalah teman sekelas ku sejak kelas 7. Aku memang tidak terlalu dekat dengannya dulu. Aku merasa beruntung dia sekelas dengan ku lagi, jadi aku tidak perlu susah payah untuk mencari dan beradaptasi dengan teman baru di kelas ini. Ranti adalah anak kesayangan guru, bisa dibilang seperti itu karena kedekatannya dengan guru-guru. Sementara aku adalah anak yang cuek dan pendiam semenjak kelas 7.

Hari demi hari pun telah aku lewati bersama Ranti. Bisa dibilang hari-hari itu adalah proses dimana aku berubah. Ya, aku mulai berubah semenjak bersahabat dengan Ranti. Aku lebih humoris dan jail dari biasanya, sangat kontras memang jika melihat sikap ku di kelas 7 dulu yang sangat pendiam. Tapi, sejak aku jail itu aku mulai susah mengontrol diriku untuk tidak berbuat jail. Sampai pada suatu ketika, aku melancarkan aksiku untuk mengerjai Ranti,

“Huaaaa…!! Citraa, udah.. geli tau, udah!” Teriak Ranti karena aku gelitiki tubuhnya.

“Hahahahha..” tawa jahatku sambil terus menggelitiki Ranti.

“huaaaa.. stop dong cit, geli tau!” bentaknya sambil beranjak dariku, dia terlihat kesal dan hampir menangis karena kesal aku gelitiki.

“Ranti, tunggu!” aku pun menghalaunya agar dia tidak pergi.

“Maaf, aku gak bermaksud membuatmu sampai kesal.” Penjelasanku kepada Ranti sambil merayunya agar tidak marah kepadaku.

“Kamu tuh bercandanya kelewatan tau gak sih! Kamu kan tau aku geli, tapi jangan kelewatan, aku kan cape.” Keluhnya kepadaku dengan nada kesal.

“Iya, aku tau, aku minta maaf ya, aku janji deh gak gitu lagi.” Ucapku sambil memelas untuk mencairkan suasana.

“Iya, yasudah.” Kata Ranti.

Semenjak itu aku sangat merasa bersalah akan kejailanku yang sudah kelewatan. Aku harus menahan hawa nafsuku untuk menjaili orang lain. Makanya aku lebih memilih berdiam diri dan masa bodo dengan keadaan. Aku lebih memilih tidak berkutik dengan candaan agar aku tidak terpancing untuk membuat suatu kejailan lagi. Namun, dengan sikap ku ini, aku mengahadapi masalah kembali. Sepertinya aku menyelesaikan masalah dengan masalah. Waktu itu, aku menjadi seseorang yang cuek dan suka diam, namun dengan adanya sikapku itu, bencana pun datang.

“Citra, kamu kenapa sih diem terus dari tadi?” Tanya Ranti kepadaku yang sedang duduk sambil berpangku tangan dengan memasang muka cemberut.

“engga, gak kenapa-kenapa kok.” Jawabku sambil memalingkan pandangan kearah lain.

“Kamu marah ya sama aku? Kamu jangan diem terus dong, maaf ya..” ujar Ranti sambil memegang tanganku dengan melas.

“Aku gak marah kok sama kamu, kamu gak salah apa-apa. udah ah, kamu ngapain sih minta maaf sama aku.” Ucapku kepada Ranti sambil menekankan nada suaraku.

“tuh kan kamu marah ya sama aku, maaf ya cit, maafin aku..” ucapnya sambil menatap nanar kepadaku dan berusaha terus meminta maaf kepadaku.

Aku merasa ganjil terhadap Ranti meminta maaf kepadaku, sementara aku merasa tidak punya masalah apa-apa dengannya. Aku kesal karena ia terus meminta maaf kepadaku sementara aku benar-benar tidak marah dengannya. Namun, Ranti terlihat merasa mempunyai kesalahan besar denganku hingga ia terus meminta maaf kepadaku.

“Aku tuh gak marah sama kamu, yaudah sih gak apa-apa.” sahut aku dengan nada kesal.

“Yaudah kalau kamu gak marah sama aku, kamu maafin aku, apa susahnya sih bilang kalau kamu maafin aku.” Ujar Ranti sambil menahan air matanya.

“Yaudah, kamu gak usah minta maaf, kamu tuh gak salah apa-apa, kamu jangan merasa bersalah sama aku deh, aku gak apa-apa kok.” Ujarku kepada Ranti, sambil menghela napas karena menahan emosi.

“Kalau gak kenapa-kenapa yaudah, kamu maafin aku, aku cuma mau kamu maafin aku, biar aku tau kamu gak marah sama aku, apa susahnya sih cit..” ucapnya sambil menangis kepadaku.

“Kamu ngapain sih nangis, kamu tuh terlalu merasa bersalah benget deh sama aku. Aku tuh gak kenapa-kenapa sama kamu. Yaudah aku maafin kamu, udah jangan nangis lagi.” Ucapku menjelaskan sambil berusaha menenangkannya agar tidak menangis lagi.

Aku selalu merasa bersalah jika harus mengingat kejadian itu yang terus berulang. Aku tidak nyaman karena Ranti terlalu merasa bersalah denganku karena aku selalu diam dan cuek. Semenjak itu, aku berusaha menjelaskan padanya agar tidak terlalu merasa bersalah kepadaku dan menganggap aku marah padanya. Dengan ia memelas meminta maaf padaku sampai ia harus menangis karena aku, hal itu selalu menghatui batinku dan mengecap diriku sendiri sebagai orang jahat yang selalu membuat Ranti menangis. Aku selalu berfikir, apa aku harus menjauh darinya agar dia tidak aku sakiti terus. Jujur saja, aku tidak ingin ia menangis lagi karena keegoisanku. Aku selalu berusaha menetralkan keadaan, aku mulai berusaha menjauh darinya agar ia tidak terluka lagi dengan masalah yang telah ada.

- ◊ -

Semester ke dua telah dimulai, murid baru pun berdatangan. Tepatnya di kelasku ini, ada seorang murid perempuan baru. Aku dan yang lainnya menyambutnya dengan ramah. Aku berkenalan dengannya, begitu pula Ranti. Anak baru itu bernama Julia, dia adalah anak pindahan dari sekolah negeri yang cukup bagus, dia juga termasuk anak yang cerdas. Sejak awal kedatangannya, Julia sudah bisa merebut perhatian Ranti dari ku. Bisa dibilang aku cemburu karena Ranti sekarang begitu dekat dengan Julia. Hingga pada suatu kejadian yang membuat persahabatanku dengan Ranti mulai goyah.

Waktu itu Ranti sedang bersama Julia, dengan tanpa sadar Ranti meninggalkanku sendirian. Mereka terlihat akrab sekali sambil ngobrol dan melepaskan tawa yang bagiku adalah kebahagiaan di atas kesedihan seseorang. Aku kesal, aku merasa sahabatku direbut orang lain.  Aku tau itu haknya untuk berteman dengan siapa saja, makanya aku tidak mau merusak suasana. Aku lebih memilih membiarkannya dan pergi meninggalkan mereka berdua. Sampai pada akhirnya konflik terjadi.

“Ciee.. punya sahabat baru, sahabat lama dilupain.” Ledekku sambil menyindir Ranti.

“Sahabat baru siapa? Aku gak ngelupain kamu kok cit.” ujar Ranti.

“Kayaknya kemaren asik banget ngobrol berduaan sama Julia, sampe aku diabaikan.” Ucapku.

“Julia..? aku Cuma ngobrol doang kok, aku gak bermaksud ninggalin kamu kemaren. Habisnya, kamu diem aja kemaren, ya aku ke Julia aja buat diajak ngobrol.” Penjelasan dari Ranti.

“Oh.. yasudah, berarti aku udah gak asik lagi kali ya buat diajak ngobrol?,,” ucapku.

“Bukan begitu, aku cuma pengen ngobrol sama Julia aja, daripada aku diem-dieman sama kamu, mending aku ngobrol sama Julia.” Kata Ranti.

“oh, gitu, yaudah, tapi kamu jangan ninggalin aku sendirian gitu dong, aku kan cemburu kamu deket sama Julia.” Ucapku

“hahaha, ciee.. kamu cemburu aku sama Julia? Hahaha dasar kamu cit” ledek Ranti kepadaku.

“yaudah sih, kan wajar aja, aku kan sahabat kamu dari dulu, makanya kamu jangan suka ninggalin aku lagi, kalau ada masalah sebisanya kita selesaikan berdua, jangan saling egois lagi kayak dulu.” Kataku.

“Iya citraa, aku gak bakalan ninggalin kamu lagi kok, makanya kita saling nahan ego masing-masing biar gak berantem terus, oke.” Ucapnya sambil tersenyum lebar kepadaku.

Dan pada akhirnya konflik itu diselesaikan dengan adegan saling berpelikan antara aku dan Ranti.

Pada saat itulah aku dan Ranti bersahabat dengan sikap dewasa yang saling mengerti dan saling menahan ego masing-masing. Dan jika ada masalah, pasti akan kita selesaikan dengan baik-baik. Karena kunci dari persahabatan itu adalah saling mengerti. Itulah pelajaran yang bisa ku petik dari kisah persahabatanku dengan Ranti dari awal sampai seterusnya, karena sahabat tidak mementingkan dirinya sendiri melainkan mementingkan arti penting pada sebuah persahabatan itu sendiri.





-The End

Tidak ada komentar: